Mengenang 17 Ramadhan di Ribath al-Maliki Makkah

ang menunaikan ibadah umrah. Karena kebanyakan dari mereka ingin mengikuti ujian seleksi di Universitas Madinah yang kebetulan diadakan langsung di universitas yang bersangkutan di bulan Ramadhan dan setelah Idul Fitri. Saya sendiri dengan beberapa teman sempat terbesit keinginan untuk mengikuti ujian seleksi tersebut, karena tergiur dengan beberapa fasilitas kampus, utamanya uang bulanan dan tiket pulang-pergi setiap tahunnya. Namun, saya langsung sadar bahwa niat awal seperti itu sangat kontra produktif dan di luar etika seorangthalibul ilmi sejati. Disamping itu juga, secara pribadi saya kurang begitu tertarik dengan suasana kampus, gaya belajar, plus mata kuliah yang ditawarkan.

Selasa 12 Ramadhan tahun tersebut cuaca Mesir masih begitu dingin. Puasa saat itu tidak begitu terasa, disamping cuaca dingin, hitungan jamnya pun terasa pendek. Berbeda sekali dengan puasa tahun ini; cuaca panas dan hitungan jamnya lumayan panjang. Melakukan perjalanan ke tanah suci, baik untuk menunaikan haji maupun umrah, jika memakai jalur laut harus penuh persiapan, utamanya bekal makanan. Biasanya para mahasiswa tidak terlalu ribet dalam urusan bekal makanan ini. Cukup menggoreng ayam koki, membuat sambal dan nasi putih serta persediaan air secukupnya. Setelah semuanya sudah siap, saya langsung berpamitan ke tetangga-tetangga kamar di asrama Al Azhar;madinah al-bu’uts al-islamiyyah. Berangkat.

Sore harinya, kapal yang kami tumpangi mulai bergerak dan menjauh dari pelabuhan Suez. Kami naik kapal As-Salam yang sekarang konon sudah tidak boleh beroperasi lagi pasca tenggelamnya salah satu kapalnya yang menewaskan ribuan jama’ah haji Mesir pada tahun 2006. Perjalanan normal menggunakan jalur laut dari Mesir ke Arab Saudi kurang lebih memakan waktu 2 hari 2 malam. Bagi saya, ini merupakan pengalaman naik kapal laut kedua, setelah dulu pernah beramai-ramai dengan pihak sekolah bertamasyah ke Bali. Setelah 2 hari 2 malam kami hidup di atas laut dengan perbekalan seadanya, akhirnya kami sampai juga di pelabuhan Jeddah Arab Saudi, pada hari Kamis 14 Ramadhan 1425 H.. Aroma tanah suci sudah mulai tercium. Kebahagiaan menyelimuti seluruh relung-relung hati. Akhirnya, saya ditakdirkan juga untuk berkunjung ke dua tanah suci; Makkah dan Madinah. Bukan hanya itu yang membuat hati saya berbunga-bunga. Namun, keinginan saya untuk bisa sowan ke guru dari para guru saya juga akan terwujud, beliau adalah Prof. DR. Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki Al Hasani , salah satu keturunan dari Baginda Rasulullah saw.. Seorang ulama yang saya kagumi semenjak mendengar namanya serta mengenal sosok dan ilmunya. Pernah ada keinginan untuk menjadi salah satu murid beliau suatu saat. Namun setelah melihat antrian panjang calon santri beliau yang belum juga diberangkatkan dari Indonesia, niat itupun saya urungkan.

Dengan teman saya Umarul Faruq, kami berencana sowan ke Ribath al-Maliki di Rushaifah pada hari Jumat sore tanggal 15 Ramadhan, setelah kami menyelesaikan rangkaian ibadah umrah. Namun saya tersentak kaget dan tidak percaya, siang hari Jumat itu, Ustad Ghazali al-Seggaf yang kebetulan juga rombongan dari Mesir memberitahu saya bahwa Abuya Sayyid Muhammad telah wafat pada hari itu. Sungguh saya tidak percaya. Karena sorenya saya berencana untuk sowanke beliau. Ustad Ghazali juga memberitahu saya bahwa shalat jenazah akan dilakukan di Masjidil Haram setelah shalat Isya pada hari itu. Saya dengan Umar tidak pernah lepas untuk selalu berdua. Sejak kenal pada waktu seleksi beasiswa Al-Azhar di Jakarta dulu, kami berdua terlihat sangat akrab. Akhirnya, kami pun membenarkan berita kewafatan beliau tersebut setelah kami menyaksikan ramainya kerumunan orang di area Ka’bah ba’da shalat Isya pada hari Jumat tersebut. Shalat jenazah di Masjidil Haram seakan sudah menjadi hal yang biasa. Apalagi musim umrah dan haji. Hampir setiap selesai shalat fardlu, kita mendengar pengumuman untuk menunaikan shalat jenazah. Namun, suasana shalat jenazah saat itu berbeda sekali dengan yang biasanya. Suasananya sangat ramai. Para jamaah di sebelah saya pun saling bertanya-tanya; ada apa ini? Ada yang menjawab, karena ada jenazah syuhada Palestina. Namun ada yang langsung menjawab, kalau tidak salah orang berkebangsaan Pakistan, bahwa jenazah yang ada di dekat Ka’bah tersebut adalah jenazah Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.

Saya dan Umar ingin menerobos ke depan, agar dapat shalat lebih dekat dengan jenazah beliau. Akan tetapi lautan jamaah shalat Isya waktu itu bak dinding beton yang sulit kami tembus. Jangankan mendekati jenazah yang terletak di dekat Ka’bah itu, mendekati area pusaran Ka’bah saja kami tidak mampu. Akhirnya kami putuskan untuk shalat di tempat di mana kaki kami berdiri. Yang menjadi imam shalat jenazah bukan lagi Syekh Sudais yang sebelumnya mengimami shalat isya. Menurut beberapa versi, Syekh Sudais tidak mau menjadi imam lantaran memiliki permusuhan ideologi yang super tajam dengan Sayyid Muhammad. Bahkan menurut salah satu murid Sayyid, Sudais pernah melaknat Sayyid di atas mimbar Jumat. Namun, menurut versi yang lain, sebenarnya Syekh Sudais ingin menjadi imam shalat jenazah tersebut, akan tetapi ada orang di belakangnya yang melarang. Terlepas dari cerita yang simpang siur itu, shalat jenazah pun akhirnya dilaksanakan.

Setelah selesai menunaikan shalat jenazah, gema takbir dari para pengiring jenazah pun begitu nyaring terdengar. Selama tiga kali berkunjung ke tanah suci, baru waktu itu saya menyaksikan shalat jenazah dipenuhi dengan gema takbir yang begitu dahsyat. Tidak kalah dahysatnya dengan takbir rakyat Palestina ketika mengiringi jenazah Asy Syahid Ahmad Yasin dan al-Rantisi. Begitulah orang-orang besar di dunia ini, kepergian mereka menyisakan kepedihan tersendiri di hati umat Islam. Kira-kira bagaimana reaksi masyarakat jika kita meninggal? Mereka akan merasa kehilangan ataukah malah bersyukur lantaran lepas dari cengkraman kejahatan kita? Semoga yang pertama.

Iringan jenazah dengan pekikan takbir itu pun dengan cepat meninggalkan area pusaran Ka’bah. Saya dan Umar lagi-lagi harus bergegas keluar dari Masjidil Haram untuk ikut mengantar pemakaman beliau di area pemakaman Ma’la. Untuk keluar dari dalam masjid pun tidak mudah. Lautan manusia itu memenuhi masjid; baik di dalam maupun di pelatarannya. Setelah kurang lebih 15 menit, akhirnya kami berhasil keluar dari masjid. Pekikan takbir itu sudah tidak lagi terlacak oleh indra pendengaran kami. Mereka sudah jauh berjalan. Kami pun bingung hendak ke mana. Itu adalah pertama kalinya kami pergi ke tanah suci. Kami tidak tahu apa-apa mengenai daerah sekitar. Jangankan untuk mencari daerah pemakaman Ma’la, ke toilet saja kami sering kebingungan, karena tidak mengenal arah.

Kami tidak putus asa. Kami memiki modal sedikit bahasa Arab yang bisa kami gunakan untuk bertanya-tanya. Kami trauma dengan gaya masyarakat awam Mesir yang jika ditanya akan menjawab sekenanya sekalipun tidak tahu masalah. Akhirnya kami tidak ingin tanya warga biasa. Kami bertanya ke para polisi yang menjaga pelataran Masjidil Haram. Tidak satu pun polisi yang mau memberitahu kami di mana posisi daerah Ma’la tersebut. Mungkin lagi-lagi sentimen ideologi yang menjadi penyebabnya. Sempat putus asa untuk bertanya, dan mengurungkan niat untuk mengikuti acara pemakaman Sang Idola tersebut. Namun di tengah keputusasaan kami, ada warga setempat yang baik hati dan memberitahu kami daerah Ma’la tersebut, lengkap dengan rute yang harus kami lewati.

Petunjuk orang tersebut bak telaga di tengah padang pasir. Senyum kami pun pecah. Tanpa berpikir panjang, kami langkahkan kaki menapaki rute yang diberikan orang tersebut. Setelah jalan kurang lebih 20 menit, akhirnya kami sampai juga di area pemakaman Ma’la. Saat itu Ma’la diselimuti lautan manusia yang memakai baju serba putih. Sayyid Muhammad dimakamkan di dekat makam Sayyidah Khadijah; Istri Baginda Rasulullah saw.. Di dekat area makam beliau, para polisi pun membentuk pagar manusia dengan meneriakkan kata “Haram, haram, haram”. Saya lumayan mengetahui detail ideologi yang dianut oleh Kerajaan Saudi, pun detail ideologi Sayyid Muhammad. Mungkin bukan tempatnya mengupas masalah ini dalam tulisan ini, karena sangat panjang. Gesekan ideologi Kerajaan Saudi dengan Sayyid Muhammad mengakibatkan terjadikan sentimen akut terhadap Sayyid, pun hingga beliau wafat. Tanpa memperdulikan ocehan polisi-polisi tersebut, para pengiring dan juga kami menerobos hingga kami berhasil berada di samping makam Sayyid. Namun, agaknya kami terlambat, karena ketika kami lihat, pemakaman sudah selesai dilakukan. Saya hanya sempat mendapati Sayyid Ahmad Putra Sayyid Muhammad yang sekarang menggantikan beliau, terkulai lemas di samping saya dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuh beliau. Hal yang paling menggelikan, adalah gunjingan segelintir orang saudi yang berkata antar mereka, “Coba lihat Habib Ali dari Yaman itu yang berthawaf di kuburannya (kuburan Sayyid)”. Jelas itu lagi-lagi sentimen ideologi. Padahal saya tidak melihat bahwa beliau berniat untuk menthawafi, akan tetapi hanya sekedar pindah tempat. Namun itulah, kalau sudah otak diliputi rasa kebencian, apa pun akan ditafsirkan secara negatif. Semoga orang-orang seperti itu mendapatkan hidayatullah (petunjuk Allah).

Setelah pemakaman selesai. Saya selalu bertanya kepada orang-orang Indonesia yang ikut mengiringi jenazah. Saya bertanya mengenai keberadaan Ustadz Shalihin; salah seorang murid pertama KH. Basori Alwi pengasuh PIQ (Pesantren Ilmu Al Quran), yang sudah lama menimba ilmu kepada Sayyid Muhammad. Setiap orang yang saya tanya selalu menjawab kenal dengan sosok beliau, namun setelah menoleh kanan kiri tidak menemukannya. Saya tidak pernah tahu wajah Ustadz Shalihin, karena sekalipun dari almamater yang sama, namun kami beda generasi. Akhirnya, mereka hanya memberi saya salah satu ciri sosok beliau; yaitu berkacamata. Setiap orang yang berkacamata saya tanya tentang Ustadz Shalihin, dengan harapan orang tersebut adalah Ustad Shalihin itu sendiri. Namun, saya belum beruntung, sampai orang hampir habis pun saya tidak bertemu dengan Ustadz Shalihin. Akhirnya, kami pun pulang.

Dua hari pasca pemakaman tersebut, tepatnya hari Ahad tanggal 17 Ramadhan, kami pergi ke Rushaifah. Kami berangkat kurang lebih jam 10 pagi. Dengan berpakaian jubah putih dan peci putih yang baru kami beli di pasar seng di dekat area Marwah. Tidak lama kami berdiri di samping jalan raya, kami sudah mendapatkan tumpangan taxi. Di Saudi, untuk mencari kendaraan tidak terlalu sulit. Hampir sulit dibedakan mobil yang benar-benar pribadi dengan mobil yang sengaja digunakan untuk mengobyek. Setelah kami mendapatkan kendaraan, kami meminta ke sopir agar diantarkan ke Rushaifah di jalan al-Maliki. Sopir tersebut pun menggerutu dengan mengucapkan, “ngapain kamu masih suka dengan orang seperti itu”. Saya pun diam saja, tidak ingin ribut di dalam mobil sedan tersebut. Hati saya menangis, betapa tidak, sampai sopir jalanan pun sebegitunya membenci Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki. Alasannya lagi-lagi adalah perbedaan dasar pemahaman ideologinya. Padahal seandainya mereka mau membaca dan meneliti khazanah keilmuan Islam, baik klasik maupun kontemporer, pasti mereka akan mengetahui bahwa pemahaman ideologi Sayyid merupakan pemahaman Ahlusunnah Wal Jama’ah. Justru pemahaman mereka yang telah melenceng dari kredo ideologi yang telah dibangun oleh para ulama Ahlussunnah.

Setelah beberapa menit, akhirnya kami sampai juga di depan Ribath al-Maliki. Kami sampai kurang lebih satu jam menjelang Zuhur. Kaki kami pun mulai melangkah mendekati Ribath tersebut. Setelah sampai di depan gerbang, kami mendapati tulisan yang berbunyi “Waktul ‘azaa` ba’da shalaati at taraawih” (waktu melayat setelah shalat taraweh). Gubraaak... muka saya pun tiba-tiba berubah pucat, muka Umar pun tidak jauh dari apa yang saya alami. Gerbang Ribath tersebut tertutup rapat dengan tembok tinggi yang mengelilinginya. Kami pun tidak bisa apa-apa, mau memaksa menekan bel, takut diusir karena melanggar waktu yang ditentukan. Apalagi kami bukan siapa-siapa, hanya dua anak kecil yang ingin berziarah ke padepokan idolanya. Akhirnya kami pun berjalan-jalan ringan di sekitar Ribath tanpa tentu arah dan tujuan. Mau balik lagi ke rumah, sudah tanggung. Tapi mau menunggu juga masih lama, karena gerbang dibuka baru setelah shalat taraweh, padahal waktu itu masih belum Zuhur. Sebenarnya di depan Ribath itu ada masjid kecil. Namun pintunya tertutup, tidak jauh berbeda dengan masjid-masjid di Mesir yang hanya dibuka ketika waktu shalat.

Akhirnya adzan Zuhur pun berkumandang. Suasana hati pun lumayan terasa tentram. Karena pikir saya, mungkin bisa istirahat di masjid tersebut setelah shalat Zuhur hingga waktu Isya nanti. Setelah selesai shalat Zuhur kami pun membaca Al Quran hingga semua jamaah meninggalkan masjid. Hati saya pun tidak lepas dari doa agar kami bisa tinggal di masjid ini hingga waktu Isya nanti. Namun harapan itu sirna ketika kami disuruh keluar oleh penjaga masjid, karena masjid akan ditutup. Huuuufff..... saya menghelakan nafas dan berpikir sebaiknya bagaimana. Akhirnya dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian, saya bertekad untuk izin masuk ke Ribath. Tapi bagaimana caranya, sebab belum waktunya untuk bertakziyah?. Di luar masjid itu pun saya selalu memutar otak memikirkan cara terbaik untuk solusi saat itu. Karena sepertinya tidak lucu jika harus berkeliaran di luar Ribath dari Zuhur hingga Isya. Tekad saya untuk minta izin masuk pun agak luntur ketika salah satu rombongan Syekh Ibrahim, seorang ulama asal Pakistan yang menjadi imam di salah satu masjid besar di Jepang, tidak diberi izin masuk ke Ribath. Karena memang saat itu belum waktunya. Langkah kaki kami pun terhenti ketika melihat hal itu. Saya berpikir, “Jika orang besar seperti beliau saja terpental di pintu gerbang, apalagi kami”. Namun tidak lama, pikiran tersebut saya buang. Saya membulatkan tekad kembali untuk masuk ke Ribath. Namun saya tidak berani jika harus memulai. Saya menunggu dulu ada rombongan lagi yang menekan bel. Dan tidak lama kemudian ada rombongan jamaah dari Syria, saya lupa nama Syekh tersebut. Entah apa alasannya, rombongan yang ini boleh masuk pada saat itu. Akhirnya saya pun mendekati gerbang dan berbicara dengan penjaga gerbang. Kebetulan dia adalah santri asal Indonesia. Memang hampir 98% santri Sayyid di Ribath tersebut adalah dari Indonesia. Dari lubang gerbang, saya berbicara dengan penjaga gerbang. Saya tidak mengatakan ingin bertakziyah karena pasti akan ditolak untuk masuk, namun saya mengatakan ingin bertemu dengan senior saya di persantren, Ustadz Shalihin.

Ustadz Shalihin adalah santri paling senior di Ribath tersebut, kurang lebih saat itu beliau sudah 24 tahun menimba ilmu di sana. Waktu yang tidak sedikit. Pantas saja semua orang yang pernah saya tanya waktu di acara pemakaman 2 hari sebelumnya sangat mengenal beliau. Tidak lama kemudian, sosok berkacamata itu datang mendekati gerbang dan membukanya. Dengan senyum ramah beliau mempersilahkan kami masuk ke ruang tamu. Ternyata sebelumnya beliau pun sudah diberitahu oleh santri-santri yang lain bahwa waktu pemakaman 2 hari yang lalu ada santri PIQ yang mencari beliau. Di dalam ruang tamu kami ngobrol sebentar dan akhirnya kami dipersilahkan istirahat terlebih dahulu.

****

Ketika adzan Magrib berkumandang, kami yang sudah membaur dengan para santri, langsung berbuka dengan makanan dan minuman yang sudah ditata rapi di atas plastik yang memanjang sepanjang pelataran Ribath. Tidak disangka, santri yang makan di depan saya adalah Gus Azaim (cucu KH. As'ad Samsul Arifin), teman di PIQ yang kabarnya sudah lama menunggu panggilan ke Ribath tapi belum juga dipanggil sekalipun sudah mendapat persetujuan dari Sayyid. Orang yang mendapat persetujuan untuk jadi santri Sayyid dan belum mendapat panggilan seperti dia jumlahnya banyak di Indonesia. Karena memang beliau membatasi jumlah santri. Santri lain boleh masuk jika ada santri yang sudah selesai dan keluar. Akhirnya saya pun terlibat obrolan layaknya teman lama yang baru ketemu setelah sekian lama terpisahkan oleh ruang dan waktu. Obrolan itu pun harus kami break karena iqamah untuk menunaikan shalat Magrib berjamaah telah dikumandangkan.

Setelah shalat magrib, kami pun mengambil tempat duduk berdampingan. Saya sempat terheran-heran dengan tatanan pelataran Ribath saat itu, saya bertanya ke Azaim, “Gus, ini ada apa kok pake pasang kursi-kursi segala?”. “Ini mau ada Putra Mahkota Abdullah yang mau datang bertakziyah,” jawabnya. Sekarang putra mahkota tersebut menjadi Raja Arab Saudi pasca meninggalnya Raja Fahd. Tidak lama dari itu putra mahkota pun datang dan memberikan sambutan belasungkawa atas wafatnya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki atas nama kerajaan.

Langit semakin menghitam, suara-suara manusia di luar sana pun sudah mulai meredup sunyi. Setelah acara semuanya selesai. Saya berpamitan kepada Ustadz Shalihin untuk pulang. Sebelum pulang beliau pun memberi kami masing-masing 11 kitab karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki. Sungguh dunia Islam saat itu kehilangan salah satu putra terbaiknya. Seorang yang penuh keikhlasan mendidik umat di dalam tekanan ideologi di negerinya sendiri. Sekalipun terkesan terkungkung, namanya tetap dieluh-eluhkan di berbagai belantika dunia Islam. Setelah saya tidak beruntung menjadi santri langsung beliau, tidak juga beruntung bertemu dengan beliau, namun mengikuti prosesi pemakaman dan takziyah beliau saat itu merupakan salah satu kenikmatan besar yang saya syukuri sampai saat ini. Orang besar pergi dan orang besar yang lain datang. Pada tahun 150 H. Imam Abu Hanifah wafat dan di tahun yang sama lahirnya seorang Imam Syafi’i. Sekalipun tidak bisa bersila di majelis beliau untuk menjadi santrinya secara langsung, namun setidaknya saya menjadi santri beliau lewat karya-karya monumental beliau. Di saat itu kita mendengar beliau wafat, ada saatnya orang lain akan mendengarkan bahwa kita yang wafat. Namun, apakah orang lain akan merasa kehilangan dengan kewafatan kita? Semoga sisa hidup ini dapat berarti bagi lingkungan sekitar. Nabi berpesan,“Khoirun naasi anfa’uhum linnaas” (Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi orang lain).Wallahu a’lam bish showaab. Semoga bermanfaat.

0 comments: